Papua, SNI Papua – Putra dari tokoh dan pejuang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, Yanto Khomlay Eluay bercerita bagaimana orangtuanya menanamkan jiwa nasionalisme dan cinta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal itu diungkapkan Yanto Eluay dalam Podcast Kebangsaan Lanud Silas Papare yang berjudul “Dialog Kebangsaan Dengan Yanto Eulay: Ayahku Pejuang Pepera dan Mendidikku Cinta Tanah NKRI” dan dipandu langsung Komandan Lanud Silas Papare, Marsma TNI Budhi Achmadi, yang ditayangkan Minggu (27/12).
Menurut Yanto, orangtuanya sudah menamankan Pancasila dan NKRI sejak kecil kepada anak-anaknya. Di ruang tamu rumahnya pun dipajang foto Proklamator RI, Soekarno atau Bung Karno. Tak hanya itu, buku-buku yang kerap dibaca ayahnya juga banyak yang ditulis the founding father itu.
“Dengan foto yang dipajang orangtua ini kan berpengaruh ke kita. Sampai saat ini seperti itu,” ujarnya.
Kecintaan Yanto kepada Indonesia saat ini diwujudkannya dengan mendirikan organisasi Presidium Putra-Putri Pejuang Pepera (P5), dimana dia menjabat sebagai ketua umum.
“(Organisasi) ini inisiatif dari saya, saya berfikir bahwa kita melihat situasi dan kondisi Papua saat ini,” katanya.
Yanto melihat status, politik atau sejarah para tokoh ini diputarbalikkan. Hal itu, katanya, harus diketahui generasi saat ini. Orangtuanya, kata Yanto, menyampaikan kepadanya bahwa Bangsa Indonesia sangat besar. Kalaupun ada melawan Indonesia, pesan orangtuanya, hanya untuk mendapatkan perhatian saja.
“Mungkin (orang yang melawan Indonesia) jiwanya bukan jiwa Indonesia,” ucapnya.
Terkait keberadaan aparat TNI, Polri dan lainnya di Papua, Yanto mengatakan, situasi yang damai, aman sangat diharapkan semua orang di Papua. Pihaknya, kata Yanto, sangat mengapresiasi bahwa masyarakat Papua membutuhkan kedamaian.
“Pertama, kita mempunyai potensi sumber daya alam, potensi ini kalau tidak aman ini tidak akan berguna. Tuhan sudah anugerahi kita dengan sumber daya alam yang begitu bagus. Semua ini kalau tidak aman, tidak bisa dikelola tidak ada manfaatnya. Oleh sebab itu, wajib orang Papua untuk memberikan apresiasi, terima kasih kepada TNI-Polri untuk menghadirkan kedamaian dan keamanan di Papua,” terangnya.
Di sisi lain, Yanto mengaku banyak mendengar di media dengan mengatakan bahwa Pepera 1969 itu cacat. Lantaran itu, kata Yanto, hadirnya P5 adalah untuk menjaga dan mengawal keputusan Pepera 1969.
“Bahwa kita sudah menjadi bagian dari NKRI. Tidak ada yang cacat dan sudah tercatat juga di resolusi PBB hasil dari Pepera 1969 itu,” jelas Yanto.
Sebagai anak-anak papua, keputusan para orangtua kala itu menurut Yanto, wajib mematuhinya.
“Saya pikir apa yang diputuskan dalam Pepera 1969 itu cukup besar dan berdampak sampai saat ini,” ucapnya.
Yanto berpesan, agar generasi muda mencari menggali tentang kebenaran peristiwa 1 Desember 1961. Sebelumnya, Yanto mengaku hanya percaya bahwa Papua pernah menjadi negara sendiri.
“Tapi setelah saya mencari tahu, saya membedah sejarah tentang itu dengan teknologi, informasi, saya mencari referensi-referensi sejarah. Bahwa saya tidak menemukan 1 Desember 1961 dimana orang Papua berkumpul memproklamirkan negara sendiri,” terangnya.
Penafsiran yang salah itu, tambah Yanto, membuat orang Papua tidak maju. Saat ini, waktunya bersaing menyejahterakan masyarakat Papua.
“Pemerintah juga sudah mempunyai komitmen, beberapa petinggi negara ini (seperti) Panglima TNI, Kapolri, Pak Presiden sendiri sudah berkali-kali berkunjung ke Papua. Itu bukti bahwa mereka sangat peduli tentang rakyat Papua. Rakyat Papua merupakan saudara kandung daripada semua saudara-saudara yang ada di Republik Indonesia,” tandasnya.
Yanto Khomlay Eluay adalah putra dari mendiang Theis Hiyo Eluay, tokoh Pepera 1969. Dilahirkan 15 Oktober 1971 di Sentani, Jayapura dan merupakan Ondofolo Besar di Sentani saat ini.
Ia pernah menjabat Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Jayapura tahun 2014-2017 dan menduduki jabatan Wakil Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Jayapura 2017-2019. Saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Presidium Putra-Putri Pejuang Pepera (P5), organisasi yang didirikan untuk menjaga dan mengawal Pepera 1969. (*/Rls)